Rabu, 28 Februari 2018

Yg cinta nkri

#MCA_DataKami_FokusPresidenRI
#SilahkanKlarifikasi #SudutPandangMCA

#AnalisaPOLITK

Sebenarnyalah Jokowi sekarang ada dalam posisi tersudut. Semenjak mitranya Basuki "Ahok" Purnama jatuh dua kali, kalah Pilkada dan menjadi Terpidana, Xi Jinping tidak lagi mempedulikannya. Apalagi sesudah Ahok masuk bui, sekalipun entah sembunyi di mana..., Jokowi ada dalam situasi "runcing tanduk"... Apa saja yang diperbuatnya, masyarakat menanggapinya negatip... blusukan pakai sepeda motor... meresmikan becak-ayu khas Solo... atau apa pun! Masyarakat menganggap Jokowi adalah masalah, bukan yang lain...

Memang awalnya Luhut tidak peduli Ahok tersungkur... Bahkan dia beruntung bisa menggantikannya! Maka Luhut pun mencabut Moratorium Reklamasi, seakan pernah belajar Teknik Kelautan... dan dg mencatut nama ITB. Tetapi setelah seribuan Alumni ITB menolak Reklamasi 17 Pulau, Luhut mulai terhenyak. Dan sesudah hampir semua perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke ikut menolak, termasuk UI, ITS, IPB, Unpad,  UGM, Unsyah, Unhas, Unpati dan Uncen, Luhut mulai menoleh ke kiri dan ke kanan.

Ketika kemudian Anies-Sandi mengatakan: _"Sudah final! Kami hentikan!"_, maka tidak ada yang bisa dikatakan Luhut, kecuali: _"Silahkan saja... Saya tidak punya kepentingan!"_.

Yang kemudian pingsan adalah Jokowi... Dia kehilangan sandaran. Akhirnya Jokowi terpaksa ikut arus: _"Saya juga tidak pernah kasih ijin...!"_ Sekalipun Pak Joko lupa, pernah menandatangani Pergub, tanpa membaca isinya, tentang "Aturan Perijinan"... Sambil terus berpikir, bagaimana menyelamatkan diri.

Joko pun menengok ke kiri dan kanan. Masih banyak "akal bulus" yang masih bisa dibuatnya. Ahokers dan Jokowers masih cukup banyak... Juga pengkhianat-pengkhianat kecil... dan yang terus-menerus menyembunyikan Ahok, orang bilang "wereng coklat", pun tetap terus bersiaga! Dan masih bisa terus menangkapi para aktivis Pribumi yang melawan Rezim untuk membikin mereka jera. Yang penting bagi Joko sekarang bagaimana bisa memasuki 2018 tanpa tersandung, sambil terus blusukan mencari muka.

Menko Maritim memang serba bisa... Sekarang dia mengurusi juga bisnis properti... bukan cuma satu-dua gedung, tapi sebuah kota... kota modern. Kemarin meresmikan pemasangan puncak dua Menara Meikarta, sebuah _China Town_ yang disiapkan untuk para Hoa-Kiauw seantero dunia... Meikarta dirancang pula menjadi semacam _refugee camp_ bagi para pengungsi kerusuhan semacam Mei 98, sewaktu-waktu terjadi lagi. Tapi sekaligus juga dilengkapi dengan persenjataan seperti sebuah benteng dan tempat latihan militer..., maka siaplah dia menjadi _Fort Meikarta_...

Maka Jokowi tidak terlalu berkecil hati... Sekiranya waktu terus berpihak kepadanya, banyak hal bisa dibikin. _Fort Meikarta_ masih bisa terus berjalan... Reklamasi 17 Pulau pun baru dihentikan... belum sampai dihancurkan atau ditenggelamkan. Yang sekarang ada masih bisa "dinegosiasikan". Apalagi kalau Anies-Sandi setuju dengan "referendum", maka Reklamasi 17 Pulau masih punya harapan untuk dilanjutkan... _Chinese uber Alles_ masih bisa dipertahankan. Sekarang tinggal bagaimana "akal bulusnya" ...

Hanya satu-dua yang mengkhawatirkan Jokowi. Yaitu, kalau para Mafia Cina ini kehabisan _cash flow_, dan membayang rasa takut pada risiko terburuk... terusir dari Indonesia... Kekhawatiran kalah, lalu berbalik melawan segala kekacauan yang dibuat Joko-Ahok selama tiga tahun ini... khususnya para Cina WNI yang mau hidup tenang, damai dan berdampingan dengan Pribumi,  Orang Indonesia Asli. Terjungkalnya Ahok memang membikin bayang-bayang ketakutan kepada mereka.

Lalu ekonomi juga memburuk... Gembar-gembor tentang Cina bakal menguasai Indonesia dan mengusir Pribumi lewat duet Joko-Ahok ternyata ilusi. Dengan memburuknya ekonomi, selain _cash flow_ macet, kerusuhan Mei dan Jakarta terbakar juga mulai membayang. Donald Trump pun sudah curiga, tidak akan menerima suaka lagi Cina-cina dari Indonesia. Bahkan yang sudah tinggal di AS pun dituduh menipu, dan dihukum untuk pulang... pulang ke mana?! Indonesia jelas lebih baik daripada RRC... Tapi...

Ratusan trilyun sudah telanjur diinvestasikan untuk persiapan me

nampung dan menggaji saudara-saudara mereka sesama Cina dari RRC. Terutama tersedot di Reklamasi 17 Pulau, _Fort Meikarta_ Kereta Api Cepat Cina, Tol Laut, Proyek-proyek Industri, dan lain-lain infrastruktur, termasuk apartemen dan rumah-rumah susun untuk tempat tinggal Cina-cina Asing itu, menyediakan KTP Aspal, Paspor, menyuap pejabat, dll. Ternyata Indonesia masih belum bisa dikuasai... seperti janji Joko-Ahok. Bahkan Jokowi sendiri bisa jatuh setiap saat... mengikuti Ahok. Para Menteri dan Wakil Rakyatnya pun sudah siap-siap hengkang... terlihat dari semakin meningkatnya perampokan terhadap uang Negara...

Sehingga, sebetulnya, kekuasaan Rezim Joko-Jeka dan para Mafia Taipan Cina ini sudah seperti "telor di ujung tanduk". Kalau Anies-Sandi segera menyatakan 17 Pulau Reklamasi akan ditenggelamkan dengan biaya para Mafia Pengembang, maka habislah sudah penguasaan mereka atas Nusantara. Seperti bangkrutnya VOC pada 1799... Pribumi menjadi Tuan di Negeri sendiri segera terwujud!

HEBAT dan JAHAT nya KAPITALISME oleh para KAPITALIS..
Semoga bermanfaat..

🌍 Tulisan dari Dwi Condro Triyono, Ph.D.

Sistem Ekonomi Kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan Ekonomi hanya akan terwujud, jika semua pelaku Ekonomi terfokus pada akumulasi Kapital (modal).

Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga Perbankan.

Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di Bank tersebut?

Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari Bank, yaitu:

Fix return dan Agunan.

Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini.

Siapakah mereka itu?

Mereka itu tidak lain adalah kaum Kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Nah, apakah adanya lembaga Perbankan ini sudah cukup?

Bagi kaum Kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar.

Dengan cara apa?

Yaitu dengan Pasar Modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas Saham untuk dijual kepada masyarakat, dengan iming-iming akan diberi Deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan Pasar Modal ini?

Dengan persyaratan untuk menjadi Emiten dan penilaian Investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja, yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini.

Siapa mereka itu?

Kaum Kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Adanya tambahan Pasar Modal ini, apakah sudah cukup?

Bagi kaum Kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar.

Dengan cara apa lagi?

Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”.

Bagaimana caranya?

Menurut Teori Karl Marx, dalam pasar Persaingan Bebas, ada Hukum Akumulasi Kapital (The Law Of Capital Accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil.

Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya?

Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Agar perusahaan Kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan Persaingan Pasar.

Persaingan Pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah.

Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb.

Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut?

Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika perusahaan Kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).

Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti:

Sektor Telekomunikasi, Transportasi, Pelabuhan, Keuangan, Pendidikan, Kesehatan, Pertambangan, Kehutanan, Energi, dsb.

Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi.

Lantas bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya:

Undang-Undang Privatisasi BUMN.

Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut.

Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika dengan cara ini kaum Kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan.

Bagaimana cara mengatasinya?

Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor Kekuasaan itu sendiri.

Kaum Kapitalis harus menjadi Penguasa, sekaligus tetap sebagai Pengusaha.

Untuk menjadi Penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya Kampanye itu tidak murah.

Bagi kaum Kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika kaum Kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka Hegemoni (pengaruh) Ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan Hegemoni ini.

Namun, apakah masalah dari kaum Kapitalis sudah selesai sampai di sini?

Tentu saja belum. Ternyata Hegemoni Ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup.

Mereka justru akan menghadapi problem baru.

Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses (kelebihan) produksi.

Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen.

Lantas, ke mana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya?

Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan Hegemoni di tingkat dunia.

Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang, yang padat penduduknya.

Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya, tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum Kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika Kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya.

Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya.

Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah.

Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan Kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Apakah dengan membuka MNC sudah cukup?

Jawabnya tentu saja belum.

Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi.

Caranya?

Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya ini, Kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.

Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya:

UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi).

Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah:

UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu.

Dengan cara apa?

Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah.

Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai Kurs Mata Uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan Sistem Kurs Mengambang Bebas (Floating Rate) bagi mata uang lokal tersebut.

Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh Pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas).

Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya.

Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya.

Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah.

Bagaimana caranya?

Yaitu dengan melakukan proses Liberalisasi Pendidikan di negara tersebut.

Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan Subsidi bagi pendidikannya.

Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi.

Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya.

Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah.

Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan Sarjana.

Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara, dan maunya digaji tinggi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara Hegemoni Kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan Intervesi UU.

Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi.

Nah, cara inilah yang akan menjamin proses Intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus.

Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan Penguasa Boneka.

Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum Kapitalis dunia.

Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi Boneka.

Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Nah, apakah ini sudah cukup?

Tentu saja belum cukup.

Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru.

Apa problemnya?

Jika Hegemoni kaum Kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru.

Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut.

Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat.

Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum Kapitalis itu sendiri.

Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka.

Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua?

Di sinilah diperlukan cara berikutnya.

Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM.

Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan Pengembangan Masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil, maupun industri kreatif lainnya.

Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit.

Kaum Kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini.

Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu:

(1) Masyarakat akan tetap memiliki daya beli, (2) akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, (3) negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini Kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”.

Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi?

Jawabnya ternyata masih ada.

Apa itu?

Ancaman Krisis Ekonomi.

Sejarah panjang telah membuktikan bahwa Ekonomi Kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya Krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya.

Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya.

Apa itu?

Ternyata sangat sederhana.

Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bail-out) atau Stimulus Ekonomi.

Dananya berasal dari mana?

Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari Pajak rakyat.

Dengan demikian, jika terjadi Krisis Ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya?

Jawabnya adalah:

Rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini?

Kaum Kapitalis akan tetap jaya, dan rakyat selamanya akan tetap menderita.

Di manapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama.

Itulah produk dari Hegemoni Kapitalisme Dunia.🌍
🙏🏻🙏🏻🙏🏻Monggo disimak, tulisan bagus utk kita yg cinta NKRI💗

Tidak ada komentar:

Posting Komentar